Kamis, 07 Mei 2009

One Village One Product for developing village around IPB

Agriculture refers to the production of food and goods through farming and forestry. Agriculture was the key development that led to the rise of civilization; with the husbandry of domesticated animals and plants (i.e. crops) creating food surpluses that enabled the development of more densely populated and stratified societies (Wikipedia). But it’s not enough without we use the high technology. IPB, as an agricultural university, has a Faculty of Agricultural Technology that applies technology in agriculture. This is a big role for IPB for developing country especially in agriculture. There are so many researches from Agro technology students but they’re not applied well for citizen especially the citizen around IPB. Actually, there are many ideas for developing country to improve the agriculture, one of them is by a program called “One Village One Product”.

The One village one product movement or OVOP is a program for regional development. It began in Ōita Prefecture, Japan, in 1979 when the then-governor Morihiko Hiramatsu (born 1924) advocated the program. Communities selectively produce goods with high added value. One village produces one competitive and staple product as a business to gain sales revenue to improve the standard of living for the residents of that village (Wikipedia).

The objective of One Village One Product is to explore and to promote creative and innovative product from local resources that have a unique things, high value, but still keep the environment sustainability that have a good image and can compete well.

The village around IPB has a special commodity that can be mainstay agricultural commodity such as red pepper. Red pepper is a potential product to make pickle. As we know that Bogor is popular as the pickle city (asinan), which is made from many kind of fresh fruits. It’s a new innovation to make special red pepper pickle. One of the example technologies that can be used in processing the pickle is drying. They can use the dryer from Agricultural Engineering, with the permission of course. And for the nutrient, Food Science and Technology can tell them the best way to process the red pepper. And agro industrial has a big role in marketing and packing. Beside that, we have to make cooperation with local government in financial capital.

The concept of the OVOP is separate into two groups. First group which is the local citizens have a role to produce and to process the red pepper pickle and for the second groups which is the government have a role in the financial capital. The steps in processing have to be with high technology, not using the manual processing anymore. Furthermore, the product can be sold in local and national.

For developing a village, we need to joint all of department in agricultural technology so the implementation would be better.

Kiambang (Salvinia natans), sebagai pengganti jagung

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa krisis energi merupakan salah satu krisis utama yang terjadi di dunia ini. Fosil sebagai bahan baku utama energi telah terancam punah. Energi-energi alternatif sudah banyak dikembangkan terutama yang bersifat renewable atau dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Bioenergy merupakan salah satu solusinya. Banyak peneliti-peneliti yang berusaha mencari energi alternatif yang berasal dari alam dan bersifat ramah lingkungan. Inovasi-inovasi yang dilakukan telah cukup banyak, seperti bioethanol, biogas, mikrohidro dan lain-lain.
Potensi-potensi alam yang bisa dieksplorasi ternyata sangat banyak, salah satunya adalah tanaman pangan. Bioethanol yang dikembangkan saat ini sangat banyak dan bermacam-macam. Salah satunya adalah bioethanol dari jagung. Jagung sebagai bioethanol telah cukup lama menjadi perhatian. Namun, dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan, seperti polusi akibat pemakaian pupuk, pestisida , herbisida, erosi tanah, emisi gas rumah kaca saat produksi, dan tergantikannya lahan bahan pangan menjadi bahan bakar, patut dipertimbangkan.
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan di University of Minnesota belum lama ini diterbitkan di jurnal Environmental Science and Technology, juga menambah daftar panjang dampak dan kerugian yang ditimbulkan ethanol berbasis jagung. Dalam hasil riset disebutkan bahwa ethanol yang didapatkan dari jagung ternyata mengkonsumsi air tiga kali lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Berdasar rata-rata produksi tahunan di Amerika Serikat, 1 liter ethanol yang didapat dari jagung membutuhkan 263 hingga 784 liter air untuk menumbuhkan dan mengubahnya menjadi bahan bakar. Meski angka tersebut bisa berbeda-beda untuk setiap negara bagian, tergantung juga kepada sistem irigasi yang dimilikinya. (Planethijau.com,2009)
Di satu sisi, bioethanol dari jagung tidak cukup menjanjikan untuk menjadi salah satu sumber bioenergi yang ramah lingkungan. Namun disisi lain, bioethanol dari jagung mempunyai peluang besar untuk menyumbang energy alternatif dan renewable.
Oleh karena itu, banyak pihak yang telah mencoba mencari pengganti jagung sebagai bioethanol. Peneliti-peneliti di North Carolina State University, Jay Cheng dan Anne-Marie Stomp, tertarik untuk memberikan solusi terhadap perlunya alternatif pengganti jagung sebagai bahan baku ethanol. Jay Cheng adalah profesor teknik pertanian dan biologi, sedangkan Anne-Marie Stomp adalah lektor kehutanan di universitas yang sama.(Planethijau.com,2009)
Kiambang (dari ki: pohon, tumbuhan, dan ambang: mengapung) merupakan nama umum bagi paku air dari genus Salvinia.. Tanaman ini mengandung protein yang cukup tinggi dan biasanya digunakan untuk campuran pakan ternak. (Wikipedia, 2009)
Menurut Cheng dan Stomp, hingga kini Kiambang masih digunakan sebagai pengolah air limbah ternak skala besar. Sisa-sisa gizi di dalam limbah diserap oleh tanaman tersebut sekaligus menjadikan air limbah aman untuk dialirkan ke dalam sungai atau perairan lainnya. Jay Cheng, menjelaskan bahwa karena kemampuannya untuk menetralisir limbah, maka Kiambang adalah tanaman ramah lingkungan sekaligus bisa menjadi sumber bahan baku ethanol yang berkesinambungan. Kelebihan lainnya jika dibandingkan jagung adalah kemampuannya untuk bereproduksi sendiri dan menghasilkan semacam zat tepung, yaitu bahan dasar yang digunakan untuk membuat ethanol, sekitar lima hingga enam kali lebih banyak jika dibandingkan jagung. Menurutnya, kiambang bisa menjadi tanaman produksi selain tanaman lain yang digunakan untuk bahan baku ethanol. (Planethijau.com, 2009)
Saat ini, hasil penelitian yang telah dipublikasikan di konferensi tahunan Institute of Biological Engineering di Santa Clara California, telah dibuatkan prototip skala pilotnya untuk mengetahui lebih jauh kemampuan dan produksi ethanol dari tanaman tersebut.